Pedoman Bahtsul Masail NU

Pedoman Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Disarikan dari buku Pedoman Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama terbitan LBM PCNU Bojonegoro.

Daftar Isi

  1. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di lingkungan Nahdlatul Ulama

  2. Implementasi Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam

  3. Talfiq Antara Pendapat Empat Fiqih Madzhab

  4. Al-Kutub Al-Muta'baroh

  5. Format Penetapan Bahtsul Masail

  6. Metode Istinbath Al-Ahkam dalam Nahdlatul Ulama

1. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di lingkungan Nahdlatul Ulama

A. Kerangka Analisa Masalah

  1. Analisis Masalah:

    • Memahami sebab mengapa terjadi kasus dengan meninjau dari berbagai faktor seperti ekonomi, politik, budaya, sosial, dan faktor lainnya.

  2. Analisis Dampak:

    • Menilai dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus dari berbagai aspek seperti sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik, dan aspek lainnya.

  3. Analisis Hukum:

    • Menilai dampak hukum dari bahtsul masail setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang, serta mempertimbangkan hukum Islam dan hukum yuridis formal:

      • Status hukum (al-Ahkam al-Khamsah)

      • Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah

      • Hukum Positif

B. Prosedur Penjawaban Masalah

  1. Menggunakan Mazhab Qauli:

    • Jika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutub al-madzahib al-arba’ah dan terdapat satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.

    • Jika terdapat lebih dari satu pendapat, dilakukan taqrir jama’i untuk memilih pendapat yang lebih maslahat atau yang lebih kuat.

  2. Menggunakan Mazhab Manhaji:

    • Jika tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, dilakukan ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih, dan wajhu al-ilhaq.

  3. Istinbath Jama’i:

    • Jika tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyah oleh para ahlinya.

C. Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail

  1. Kedudukan Keputusan:

    • Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.

  2. Pengesahan Keputusan:

    • Hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.

Implementasi Sistem

Keputusan ini mencakup penggunaan metode seperti taqrir jama’i, ilhaq al-masail bi nazhairiha, dan istinbath jama’i untuk menghindari adanya masalah yang tidak terjawab (mauquf). Petunjuk operasional untuk implementasi metode ini dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU.

Kesimpulan

Sistem pengambilan keputusan hukum Islam dalam Bahtsul Masail di lingkungan Nahdlatul Ulama menggunakan pendekatan kolektif melalui analisis masalah, dampak, dan hukum, serta mengikuti prosedur penjawaban masalah yang disusun berdasarkan mazhab qauli dan manhaji. Keputusan yang diambil memiliki kedudukan yang sederajat dan dioperasionalkan melalui petunjuk teknis yang dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU.

2. Implementasi Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam

A. Kerangka Analisa Masalah

  1. Analisis Masalah:

    • Memahami sebab mengapa terjadi kasus dengan meninjau dari berbagai faktor:

      • Faktor ekonomi

      • Faktor politik

      • Faktor budaya

      • Faktor sosial

      • Faktor lainnya.

  2. Analisis Dampak:

    • Menilai dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus dari berbagai aspek, seperti:

      • Aspek sosial ekonomi

      • Aspek sosial budaya

      • Aspek sosial politik

      • Aspek lainnya.

  3. Analisis Hukum:

    • Menilai dampak bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang, di samping mempertimbangkan hukum Islam, juga mempertimbangkan hukum yuridis formal:

      • Status hukum (al-Ahkam al-Khamsah)

      • Dasar dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah

      • Hukum Positif.

B. Prosedur Penjawaban Masalah

  1. Mazhab Qauli:

    • Jika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutub al-madzahib al-arba’ah dan hanya terdapat satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.

    • Jika terdapat lebih dari satu pendapat, dilakukan taqrir jama’i untuk memilih salah satu pendapat dengan kriteria sebagai berikut:

      • Pendapat yang paling kuat dalilnya.

      • Pendapat yang paling mashlahat (ashlah).

      • Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama (jumhur).

      • Pendapat ulama yang paling alim.

      • Pendapat ulama yang paling wara’.

  2. Mazhab Manhaji:

    • Jika tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, dilakukan ilhaqul-masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih, dan wajhu al-ilhaq.

    • Jika tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyah oleh para ahlinya.

C. Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail

  1. Kedudukan Keputusan:

    • Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.

  2. Pengesahan Keputusan:

    • Hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.

D. Implementasi Sistem

  1. Taqrir Jama’i:

    • Definisi: Taqrir Jama’i adalah upaya kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa pendapat.

    • Prosedur: Mengidentifikasi pendapat-pendapat ulama tentang suatu masalah, memilih pendapat yang unggul dengan kriteria yang disebutkan di atas.

  2. Ilhaq al-Masail bi Nazha’iriha:

    • Definisi: Ilhaq adalah menyamakan hukum suatu kasus dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab.

    • Prosedur: Memahami kasus yang akan di-mulhaq-kan, mencari padanannya dalam kitab, dan menetapkan hukum seperti hukum mulhaq bih.

  3. Istinbath Jama’i:

    • Definisi: Istinbath jama’i adalah upaya secara kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan menggunakan qawa’id ushuliyah.

    • Prosedur: Memahami kasus, mencari dalil, menerapkan dalil terhadap masalah, dan menetapkan hukum atas masalah yang dibahas.

Kesimpulan

Sistem pengambilan keputusan hukum Islam dalam Bahtsul Masail di lingkungan Nahdlatul Ulama menggunakan pendekatan kolektif melalui analisis masalah, dampak, dan hukum, serta mengikuti prosedur penjawaban masalah yang disusun berdasarkan mazhab qauli dan manhaji. Keputusan yang diambil memiliki kedudukan yang sederajat dan dioperasionalkan melalui petunjuk teknis yang dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU.

3. Talfiq Antara Pendapat Empat Fiqih Madzhab

Definisi Talfiq

Talfiq adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu qadhiyah (satu rangkaian masalah) sehingga melahirkan pendapat baru yang tidak ada seorang Imam pun berpendapat seperti itu. Contoh talfiq adalah seseorang ber-taqlid kepada madzhab Syafi’i dalam keabsahan wudhu dengan hanya mengusap sebagian kepala, kemudian ber-taqlid kepada madzhab Hanafi dalam hal ketidakbatalannya karena menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram.

Ketentuan Hukum Talfiq

  1. Larangan Dasar:

    • Pada dasarnya, talfiq dilarang karena berpotensi menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari madzhab yang dianut.

  2. Pengecualian:

    • Talfiq diperbolehkan jika ada masyaqqah (kesulitan) dan tidak dalam rangka tatabu’ al-rukhash (semata-mata mencari keringanan). Hal ini dilakukan demi tercapainya kemaslahatan dan kesesuaian hukum dengan situasi dan kondisi.

Implementasi dalam Sistem Bermadzhab

  1. Konteks Masalah Keagamaan:

    • Perkembangan zaman dan tersebarnya Islam ke berbagai daerah memunculkan persoalan-persoalan keagamaan yang membutuhkan jawaban tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena teks-teks syar’i (nushus) terbatas, serta pendapat-pendapat ulama yang ada juga terbatas, terkadang talfiq menjadi langkah yang sulit dihindari.

  2. Langkah Implementasi:

    • Dalam praktik bermadzhab di lingkungan NU, talfiq diakui namun tetap harus dirumuskan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci mengenai batasan-batasannya dan dasar hukumnya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan keragu-raguan dalam menggunakan talfiq dan menghindari penggunaan talfiq yang menyesatkan.

Contoh Praktis Talfiq

  1. Wudhu:

    • Menggabungkan pendapat madzhab Syafi’i tentang mengusap sebagian kepala dalam wudhu dengan pendapat madzhab Hanafi tentang ketidakbatalannya wudhu karena menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram.

Kesimpulan

Talfiq adalah metode penggabungan pendapat dari beberapa madzhab untuk mencari solusi dalam masalah fiqh yang kompleks. Meskipun dasar hukumnya melarang, talfiq diperbolehkan dalam kondisi tertentu dengan syarat-syarat ketat untuk menghindari penyalahgunaan dan demi kemaslahatan. Implementasi talfiq dalam sistem bermadzhab NU dilakukan dengan hati-hati dan harus melalui proses yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuk menghindari kesalahan dan penyesatan.

4. Al-Kutub Al-Muta'baroh

A. Mukaddimah

Sejak Bahtsul Masail tahun 1984 di Situbondo, kriteria Al-Kutub Al-Muta'baroh dipermasalahkan dan dibahas. Kemudian dimandatkan kepada PBNU untuk menetapkan kriterianya sehingga kitab-kitab yang menjadi rujukan bagi NU menjadi jelas. Pada Muktamar NU ke-31 di Boyolali, hal yang sama juga dimandatkan pada PBNU. Oleh karena itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2006 memandang perlu untuk membahas dan menetapkan kriteria Al-Kutub Al-Muta'baroh.

B. Definisi

Yang dimaksud dengan Al-Kutub Al-Muta'baroh adalah kitab-kitab dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan kitab-kitab lain yang memenuhi kriteria fikrah Nahdliyah.

C. Kriteria Kemu'tabarahan Suatu Kitab

Kemu'tabarahan suatu kitab didasarkan atas:

  1. Penulis (Mu’allif):

    • Penulisnya harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

      • Sunni

      • Wara’ (menjaga diri dari hal yang haram)

      • 'Alim (berilmu)

  2. Isi Kitab:

    • Isi kitab, baik pendapat (qaul)-nya sendiri maupun kutipan (manqulat):

    • Jika pendapatnya sendiri, tolok ukurnya adalah argumentasi dan manhaj yang digunakan.

    • Jika berupa kutipan, maka tolok ukurnya adalah validasi kutipannya (shihahun naql).

  3. Pengakuan dari Komunitas Madzhabnya:

    • Kitab tersebut harus diakui oleh komunitas madzhabnya.

D. Kitab Standar (Ummahat Al-Kutub) dalam Masing-Masing Madzhab

  1. Madzhab Hanafi:

    • Kitab-kitab utama dalam madzhab Hanafi antara lain:

      • Masail Ushul atau Masail Zhahir al-Riwayah, yang mencakup kitab-kitab seperti al-Jami’ al-Shaghir, al-Jami’ al-Kabir, al-Siyar al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth, dan al-Ziyadat.

      • Kitab-kitab mukhtashar atau matn seperti Mukhtashar al-Thahawi, al-Kafi, al-Muntaqa, Mukhtashar al-Karkhi, Mukhtashar al-Qaduri, Mandzumah al-Nasafi fi al-Khilaf, Tuhfah al-Fuqoha', Bidayah al-Mubtadi, al-Mukhtar, dan lain-lain.

  2. Madzhab Maliki:

    • Kitab-kitab utama dalam madzhab Maliki antara lain:

      • Al-Muwathta’ karya Imam Malik bin Anas

      • Al-Mudawwanah karya Sahnun

      • Al-Tabshirah karya al-Lakhmi

      • Kitab-kitab karya Ibn Rusyd seperti al-Bayan wa al-Tahshil, al-Muqaddimat, al-Mumahhadat, dan Fatawa Ibn Rusyd

      • Kitab-kitab karya al-Maziri seperti al-Ta’liqat ‘ala al-Mudawanah dan Syarh al-Talqin.

  3. Madzhab Syafi’i:

    • Kitab-kitab utama dalam madzhab Syafi’i antara lain:

      • Kitab-kitab karya Imam al-Nawawi seperti al-Majmu', al-Raudhah, Minhaj al-Thalibin, dan lain-lain.

      • Kitab-kitab karya Imam al-Rafi’i seperti al-Muharrar, al-Aziz, dan lain-lain.

  4. Madzhab Hanbali:

    • Kitab-kitab utama dalam madzhab Hanbali antara lain:

      • Al-Mughni karya Ibn Qudamah

      • Al-Furu' karya Ibn Muflih

      • Syarh Muntaha al-Iradat karya Manshur bin Yunus al-Buhuti

      • Kasysyaf al-Qina' ‘an Matn al-Iqna' karya Manshur bin Yunus al-Buhuti

      • Al-Raudh al-Murbi’ karya Manshur bin Yunus al-Buhuti.

Kesimpulan

Al-Kutub Al-Muta'baroh adalah kitab-kitab rujukan utama dalam fiqh dari empat madzhab besar Islam yang diakui dan digunakan dalam penetapan hukum di lingkungan Nahdlatul Ulama. Kitab-kitab ini dipilih berdasarkan kredibilitas penulis, validitas isi, dan pengakuan dari komunitas madzhabnya.

5. Format Penetapan Bahtsul Masail

A. Penjelasan Umum

Deskripsi Masalah: Itsbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktivitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Itsbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan / menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan 'ibarah terutama dalam kutub mu’tamadah di lingkungan madzhab Imam Syafi’i.

B. Proses Penetapan Hukum

  1. Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992:

    • Merumuskan perkembangan penting dari sistem itsbatul ahkam, termasuk memperkenalkan ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya diaplikasikan dalam bahtsul masail. Dalam Muktamar ke-31 di Donohudan Solo, sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahtsul masail, sebuah tradisi yang sebelumnya hampir tidak pernah dilakukan dalam bahtsul masail NU.

  2. Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006:

    • Membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali).

C. Pencantuman Dalil dalam Jawaban

  1. Keperluan Pencantuman Dalil:

    • Pencantuman ayat al-Qur'an, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam setiap jawaban diperlukan karena pada hakikatnya setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur'an, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ lainnya. Ayat al-Qur'an, al-Hadits, dan dalil-dalil syara’ tersebut merupakan bagian dari pendapat ulama yang terdapat dalam kutub mu’tamadah.

D. Kerangka Analisa Tindakan

  1. Aspek-Aspek yang Diperhatikan:

    • Aspek politik: Berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah.

    • Aspek budaya: Membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat terhadap hasil-hasil bahtsul masail melalui berbagai media massa dan forum seperti majlis ta’lim.

    • Aspek ekonomi: Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    • Aspek sosial: Meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Format penetapan Bahtsul Masail di lingkungan Nahdlatul Ulama melibatkan proses pemahaman masalah, pencarian dalil, penerapan dalil, dan menetapkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Prosedur ini dirancang untuk memastikan keputusan yang diambil adalah sah dan relevan dengan kondisi masyarakat, serta mampu diimplementasikan secara efektif untuk mencapai kemaslahatan.

6. Metode Istinbath Al-Ahkam dalam Nahdlatul Ulama

Definisi Istinbath Jama’i

Istinbath jama’i adalah upaya kolektif untuk mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan menggunakan qawa’id ushuliyah (kaidah-kaidah ushul fiqh). Hal ini dilakukan secara bersama oleh para ahli agar keputusan yang diambil memiliki legitimasi yang kuat dan dapat diterima oleh berbagai kalangan.

Prosedur Istinbath Jama’i

  1. Memahami Kasus (Tashawwur al-Masalah):

    • Memahami secara mendalam tentang suatu kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Langkah ini melibatkan identifikasi masalah secara komprehensif, termasuk konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang melatarbelakangi kasus tersebut.

  2. Mencari Dalil (Istidlal):

    • Mencari dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum. Dalil dapat berupa ayat al-Qur'an, hadits Nabi, ijma’ (kesepakatan ulama), qiyas (analogi), dan sumber-sumber hukum Islam lainnya yang mu’tabar (diakui otoritasnya).

  3. Menerapkan Dalil (Kaifiyah al-Istidlal):

    • Menerapkan dalil terhadap masalah dengan menggunakan metode pengambilan hukum yang sesuai. Langkah ini melibatkan analisis dan penyesuaian dalil dengan konteks masalah yang dihadapi, serta memastikan bahwa penerapan dalil sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

  4. Menetapkan Hukum (Itsbat al-Hukm):

    • Menetapkan hukum atas masalah yang dibahas berdasarkan hasil istidlal. Keputusan ini diambil secara kolektif oleh para ahli melalui musyawarah dan mufakat, sehingga menghasilkan fatwa yang dapat diterima dan dijalankan oleh umat.

Pendekatan dalam Istinbath

  1. Metode Bayani:

    • Mengambil hukum dari nash (teks) al-Qur'an dan hadits. Langkah ini melibatkan kajian terhadap sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan asbab al-wurud (latar belakang munculnya hadits) untuk memahami makna teks secara kontekstual.

  2. Metode Qiyasi:

    • Menggunakan analogi untuk menetapkan hukum. Metode ini melibatkan pembandingan antara kasus yang belum ada hukumnya dengan kasus yang sudah ada hukumnya, berdasarkan kesamaan illat (alasan hukum).

  3. Metode Istishlahi (Maqashidi):

    • Ijtihad berdasarkan tujuan syariah (maqashid al-syariah). Metode ini menekankan pada kemaslahatan (manfaat) dan mencegah mafsadat (kerusakan), serta mempertimbangkan konteks sosial dan kebutuhan umat dalam menetapkan hukum.

Implementasi dan Kolektifitas

  • Istinbath harus dilakukan oleh orang yang ahli (mujtahid) dan secara kolektif (jama’i), bukan secara individual (fardi). Pendekatan kolektif ini bertujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam penetapan hukum dan memastikan bahwa keputusan yang diambil memiliki dasar yang kuat serta dapat diterima oleh berbagai kalangan dalam masyarakat.

Kesimpulan

Metode istinbath al-ahkam dalam Nahdlatul Ulama melibatkan proses pemahaman mendalam terhadap kasus, pencarian dan penerapan dalil, serta penetapan hukum yang dilakukan secara kolektif. Pendekatan ini memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, relevan dengan konteks sosial, dan dapat diterima serta dijalankan oleh umat.

Last updated